Senin, 30 Mei 2011

Hambatan Hambatan Dalam Komunikasi Lintas Budaya

1. ETNOSENTRISME
Etnosentrisme didefinisikan sebagai kepercayaan pada superioritas inheren kelompok atau budayanya sendiri, etnosentrisme mungkin disertai rasa jijik pada orang-orang lain yang tidak sekelompok. etnosentrisme cenderung memandang rendah orang-orang lain yang tidak sekelompok dan dianggap asing, etnosentrisme memandang dan mengukur budaya-budaya asing dengan budayanya sendiri.

Jelas sekali bahwa dengan kita bersikap etnosentrisme kita tidak dapat memandang perbedaan budaya itu sebagai keunikan dari masing-masing budaya yang patut kita hargai. Dengan memandang budaya kita sendiri lebih unggul dan budaya lainnya yang asing sebagai budaya ’yang salah’, maka komunikasi lintas budaya yang efektif hanyalah angan-angan karena kita akan cenderung lebih membatasi komunikasi yang kita lakukan dan sebisa mungkin tidak terlibat dengan budaya asing yang berbeda atau bertentangan dengan budaya kita. Masing-masing budaya akan saling merendahkan yang lain dan membenarkan budaya diri sendiri, saling menolak, sehingga sangat potensial muncul konflik di antaranya.

Contoh konflik yang sudah terjadi misalnya suku dayak dan suku madura yang sejak dulu terus terjadi. Kedua suku pedalaman itu masing-masing tidak mau saling menerima dan menghormati kebudayaan satu sama lain. Adanya anggapan bahwa budaya sendiri lah yang paling benar sementra yang lainnya salah dan tidak bermutu tidak hanya berwujud konfik namun sudah berbentuk pertikaian yang mengganas, keduanya sudah saling mmbunuh atar anggota budaya yang lain. Contoh lainnya, orang Indonesia cenderung menilai budaya barat sebagai budaya yang ’vulgar’ dan tidak tahu sopan santun. Budaya asli-budaya timur dinilai sebagai budaya yang paling unggul dan paling baik sehingga masyrakat kita cenderung membatasi pergaulan dengan orang barat. Orang takut jika terlalu banyak komunikasinya maka budaya asli akan tercemar—budaya barat sebagai polusi pencemar.

2. STEREOTIPE
Kesulitan komunikasi akan muncul dari penstereotipan (stereotyping), yakni menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi orang-orang berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Dengan kata lain, penstereotipan adalah proses menempatkan orang-orang ke dalam kategori-kategori yang mapan, atau penilaian mengenai orang-orang atau objek-objek berdasarkan kategori-kategori yang sesuai, ketimbang berdasarkan karakteristik individual mereka.

Banyak definisi stereotype yang dikemukakan oleh para ahli, kalau boleh disimpulkan, stereotip adalah kategorisasi atas suatu kelompok secara serampangan dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan individual. Kelimpik-kelompok ini mencakup : kelompok ras, kelompok etnik, kaum tua, berbagai pekerjaan profesi, atau orang dengan penampilan fisik tertentu. Stereotip tidak memandang individu-individu dalam kelompok tersebut sebagai orang atau individu yang unik.

Contoh stereotip :
1. Laki-laki berpikir logis
2. Wanita bersikap mental
3. Orang berkaca mata minus jenius
4. Orang batak kasar
5. Orang padang pelit
6. Orang jawa halus-pembawaan

Menurut Baron dan Paulus ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya stereotip. Pertama, sebagai manusia kita cenderung membagi dunia ini ke dalam dua kategori : kita dan mereka. Karena kita kekurangan informasi mengenai mereka, kita cenderung menyamaratakan mereka semua, dan mengangap mereka sebagai homogen. Kedua, stereotip tampaknya bersumber dari kecenderungan kita untuk melakukan kerja kognitif sedikit mungkin dalam berpikir mengenai orang lain. Dengan kata lain, stereotip menyebabkan persepsi selektif tentang orang-orang dan segala sesuatu disekitar kita. Stereotip dapat membuat informasi yang kita terima tidak akurat. Pada umumnya, stereotip bersifat negative.

Stereotip tidak berbahaya sejauh kita simpan di kepala kita, namun akan bahaya bila diaktifkan dalam hubungan manusia. Stereotip dapat menghambat atau mengganggu komunikasi itu sendiri. Contoh dalam konteks komunikasi lintas budaya misalnya, kita melakukan persepsi stereotip terhadap orang padang bahwa orang padang itu pelit. Lewat stereotip itu, kita memperlakukan semua orang padang sebagai orang yang pelit tanpa memandang pribadi atau keunikan masing-masing individu. Orang padang yang kita perlakukan sebagai orang yang pelit mungkin akan tersinggung dan memungkinkan munculnya konflik. Atau misal stereotip terhadap orang batak bahwa mereka itu kasar.

Dengan adanya persepsi itu, kita yang tidak suka terhadap orang yang kasar selalu berusaha menghindari komunikasi dengan orang batak sehingga komunikasi dengan orang batak tidak dapat berlangsung lancar dan efektif. Stereotip terhadap orang afrika-negro yang negatif menyebabkan mereka terbiasa diperlakukan sebagai kriminal. Contohnya, di Amerika bila seseorang (kulit putih) kebetulan berada satu tempat/ruang dengan orang negro mereka akan , secara refleks, melindungi tas atau barang mereka, karena menggangap orang negro tersebut adalah seorang pencuri. Namun, belakangan, stereotip terhadap orang negro sudah mulai berkurang terleih sejak presiden amerika saat ini juga keturunan negro. Orang Indonesia sendiri di mata dunia juga sering distereotipkan sebagai orang-orang ’anarkis’ , ’bodoh’, konservatif-primitif, dll.

3. PRASANGKA
Suatu kekeliruan persepsi terhadap orang yang berbeda adalah prasangka, suatu konsep yang sangat dekat dengan stereotip. Prasangka adalah sikap yang tidak adil terhadap seseorang atau suatu kelompok. Beberapa pakar cenderung menganggap bahwa stereotip itu identik dengan prasangka, seperti Donald Edgar dan Joe R. Fagi. Dapat dikatakan bahwa stereotip merupakan komponen kognitif (kepercayaan) dari prasangka, sedangkan prasangka juga berdimensi perilaku. Jadi, prasangka ini konsekuensi dari stereotip, dan lebih teramati daripada stereotip. Richard W. Brislin mendefinisikan prasangka sebagai sikap tidak adil, menyimpang atau tidak toleran terhadap sekelompok orang. Seperti juga stereotip, meskipun dapat positif atau negatif, prasangka umumnya bersifat negatif.

Prasangka ini bermacam-macam, yang populer adalah prasangka rasial, prasangka kesukuan, prasangka gender, dan prasangka agama. Prasangka mungkin dirasakan atau dinyatakan. Prasangka mungkin diarahkan pada suatu kelompok secara keseluruhan, atau seseorang karena ia anggota kelompok tersebut. Prasangka membatasi orang-orang pada peran-peran stereotipik. Misalnya pada prasangka rasial-rasisme semata-mata didasarkan pada ras dan pada prasangka gender-seksisme pada gendernya.

Brislin menyatakan bahwa prasangka itu mencakup hal-hal berikut : memandang kelompok lain lebih rendah, sifat memusuhi kelompok lain, bersikap ramah pada kelompok lain pada saat tertentu, namun menjaga jarak pada saat lain; berperilaku yang dibenci kelompok lain seperti terlambat padahal mereka menghargai ketepatan waktu. Ini berarti bahwa hingga derajat tertentu kita sebenarnya berprasangka terhadap suatu kelompok. Jadi kita tidak dapat tidak berprasangka. Wujud prasangka yang nyata dan ekstrem adalah diskriminasi, yakni pembatasan atas peluang atau akses sekelompok orang terhadap sumber daya semata-mata karena keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut seperti ras, suku, gender, pekerjaan dan sebagainya. Contohnya diskriminasi terhadap orang negro yang ada di amerika.

Prasangka dapat menghambat komunikasi. Oleh karena itu, orang-orang yang punya sedikit prasangka pun terhadap suatu kelompok yang berbeda tetap saja lebih suka berkomunikasi dengan orang-orang yang mirip dengan mereka karena interaksi demikian lebih meyenagkan daripada interaksi dengan orang tak dikenal. Ada beberapa contoh prasangka misalnya. orang Jepang kaku dan pekerja keras, orang Cina mata duitan, politikus itu penipu, wanita sebagai objek seks, dll. Prasangka mungkin tidak didukung dengan data yang memadai dan akurat sehingga komunikasi yang terjalin bisa macet karena berlandaskan persepsi yang keliru, yang pada gilirannya membuat orang lain juga salah mempersepsi kita. Cara yang terbaik untuk mengurangi prasangka adalah dengan meningkatkan kontak dengan mereka dan mengenal mereka lebih baik, meskipun kadang cara ini tidak berhasil dalam semua situasi.

4. RASIALISME
Rasialisme adalah suatu penekanan pada ras atau menitikberatkan pertimbangan rasial. Kadang istilah ini merujuk pada suatu kepercayaan adanya dan pentingnya kategori rasial. Dalam ideologi separatis rasial, istilah ini digunakan untuk menekankan perbedaan sosial dan budaya antar ras. Walaupun istilah ini kadang digunakan sebagai kontras dari rasisme, istilah ini dapat juga digunakan sebagai sinonim rasisme. Jika istilah rasisme umumnya merujuk pada sifat individu dan diskriminasi institusional, rasialisme biasanya merujuk pada suatu gerakan sosial atau politik yang mendukung teori rasisme. Pendukung rasialisme menyatakan bahwa rasisme melambangkan supremasi rasial dan karenanya memiliki maksud buruk, sedangkan rasialisme menunjukkan suatu ketertarikan kuat pada isu-isu ras tanpa konotasi-konotasi tersebut. Para rasialis menyatakan bahwa fokus mereka adalah pada kebanggaan ras, identitas politik, atau segregasi rasial.
Dalam website-online free dictionary, racialism didefinisikan sebagai perlakuan diskriminatif atau semena-mena yang diberikan kepada anggota suatu kelompok ras tertentu. Diskriminasi berupa perlakuan tidak adil seseorang atau suatu kelompok berdasarkan prasangka.

Rasialisme di sini menjadi sangat berbahaya karena selain menghambat keefektifan komunikasi antar budaya—antar ras yang berbeda, rasialisme dapat menjadi pemicu pertikaian antar ras, di mana konflik yang terjadi akan sulit sekali untuk didamaikan dan berlangsung lama. Contoh konflik akibat rasialisme yang pernah terjadi dan terkenal di Indonesia adalah konflik- rasialisme anti-Tionghoa, di mana di Indonesia pernah terjadi pembantaian besar-besaran terhadap ras Tionghoa yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Butuh perjuangan yang panjang agar ras Tionghoa diterima dan diakui-dihargai keberadaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar